Stres bukan cuma bisa dialami orang tua, tapi juga bayi dan anak-anak. Meskipun tidak dapat dihindari, Mama tetap bisa membantu si kecil mengelola stresnya. Namun, sebelum itu Mama perlu pelajari dulu apa stress language anak. Yuk, temukan informasi selengkapnya di sini!

Apa Itu Stres Language Anak?

Stress Language Anak

Setelah mengenal love language dan apology language, sekarang Mama juga perlu mengenal stress language anak. Istilah ini diciptakan oleh pakar kesehatan, Chantal Donnelly, untuk menggambarkan kecenderungan bawaan seseorang ketika merasa kesulitan atau kewalahan.

Sementara, bahasa stres pada anak mengacu pada bagaimana cara mereka mengomunikasikan tekanan emosional yang dirasakan. Baik secara verbal, non-verbal, maupun perilaku.

Namun, karena anak-anak memiliki keterampilan kosakata yang masih terbatas dan pengaturan emosi yang belum sempurna, mengekspresikan perasaan bisa menjadi hal yang sangat komplek. Ini membuat stress language mereka bisa terwujud secara langsung maupun simboles.

5 Macam Stress Language Anak

Stress Language Anak

Dengan mengenali bahasa stres si kecil, ini bisa membantu orang tua, pengasuh, atau gurunya untuk mengenal dan mengatasi stres yang anak alami. Berikut adalah stress language yang dimaksud.

1. The Exploder (Si Peledak)

The exploder mengekspresikan stresnya melalui luapan emosi yang kentara dan sering kali intens. Misalnya dengan berteriak, menangis, dan mengamuk—alias tantrum

Ini sering kali terjadi karena anak-anak merasa kewalahan tapi belum memiliki kosakata dan/atau kemampuan regulasi emosi untuk mengekspresikan apa yang mereka rasakan secara konstruktif.

Ini paling sering dipicu oleh rasa frustrasi, kebutuhan yang tidak terpenuhi (lapar, mengantuk, dsb), atau stimulasi berlebihan.

2. The Imploder (Si Peniup)

Sebaliknya, the imploder adalah mereka yang lebih suka memendam stres dengan menjadi pendiam, menghindari situasi, atau bersikap terlalu patuh.

Beberapa anak memilih menekan emosinya untuk menghindari konflik, merasa tidak berdaya, atau merasa takut ditolak, dihukum, atau membebani orang lain. Bisa juga karena mereka merasa emosinya tidak valid atau tidak cukup penting.

Respons yang paling sering ditampakkan adalah menghindari kontak mata, menghindari pembicaraan, atau menunjukkan tanda-tanda kecemasan seperti sakit perut dan menggigit kuku. Paling sering ditampakkan oleh korban bullying.

3. The Fixer (Si Pemecah Masalah)

Kemudian, ada the fixer yang ketika merasa stres, mereka akan berusaha memecahkan masalah atau memperbaiki situasi. Bahkan dalam kondisi yang lebih ekstrem, mereka tak sungkan mengambil tanggung jawab atas hal-hal yang sebenarnya berada di luar kendalinya.

Biasanya ini terjadi pada anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan di mana mereka merasa perlu memediasi konflik atau mengurus orang lain. Misalnya perceraian orang tua atau keluarga yang bangkrut.

Jika orang tua tidak menyikapi ini dengan tepat, anak bisa kelelahan dan mengembangkan perasaan bersalah karena merasa tidak dapat memperbaiki situasi.

BACA JUGA: PARENTAL ALIENATION SYNDROME: DAMPAK PERCERAIAN ORANG TUA

4. The Denier (Si Penyangkal)

Kalau the denier sering menolak untuk mengakui stres atau emosi sulit yang mereka rasakan. Mereka lebih suka mengabaikan masalah dan berpura-pura seolah semuanya baik-baik saja.

Anak-anak mungkin menyangkal perasaannya karena tidak memiliki kosakata atau kesadaran emosional untuk menyebutkan perasaan mereka. Namun, juga bisa terjadi karena selama ini mereka dipaksa untuk menekan emosinya, seperti “anak lagi tidak boleh cengeng” dan sebagainya.

Akibatnya anak tidak tahu bagaimana cara memproses emosinya. Sekali pun tampak kesal, mereka tetap tidak ingin membahas perasaannya—meskipun bahasa tubuh mereka menunjukkan sebaliknya.

5. The Number (Si Mati Rasa)

Terakhir ada the number yang mengatasi stres dengan cara mematikan emosi mereka. Mereka berusaha melepaskan diri secara emosional, menutup diri, atau menjadi acuh tak acuh untuk menghindari perasaan kewalahan.

Ini sangat mungkin terjadi karena anak menganggap bebannya terlalu berat sehingga mereka berusaha keluar dari sana sebagai mekanisme pertahanan (coping mechanism).

Tanda-tanda yang paling sering nampak adalah dengan melamun, selalu sibuk dengan gadget, kurangnya respons emosional, tidak tertarik lagi pada aktivitas yang dulu disukai, atau tampak terputus dari lingkungannya.

Hal-hal yang Memengaruhi Stress Language Anak

Mama mungkin penasaran bagaimana pola-pola ini bisa terbangun pada anak. Berikut ini adalah beberapa faktor yang membentuk stress language anak:

  1. Lingkungan. Perilaku stres sering kali dipelajari dengan mengamati dinamika di sekitarnya dan anak cenderung meniru responsnya.
  2. Kepribadian. Setiap anak memiliki temperamen yang unik dan ini memengaruhi cara mereka mengekspresikan stresnya.
  3. Keterampilan untuk mengatasi stres. Anak-anak sering kali tidak memiliki kosakata emosional dan keterampilan pengaturan diri untuk mengomunikasikan stres secara efektif akibatnya mereka melakukan itu secara naluriah saja.
  4. Support system. Mereka yang memiliki support system yang lemah biasanya akan mengadopsi respons stres yang tidak adaptif dan hanya cenderung meniru.
  5. Trauma atau pengalaman buruk. Ini juga bisa membentuk cara mereka merespons stres.

Membantu Anak Mengatasi Stres

Stress Language Anak

Dengan memahami bahasa stres anak, Mama bisa membantu mereka mengatasi stres dengan cara yang lebih tepat, seperti:

  1. Mengajarkan kesadaran emosional dengan membantu anak mendeskripsikan emosinya—baik secara langsung maupun dengan alat bantu.
  2. Mencontohkan coping mechanism yang sehat, misalnya bernapas dalam-dalam, mengekspresikan emosi dengan tenang, meminta bantuan, dan mengatasi masalahnya.
  3. Menyediakan ruang yang aman bagi anak untuk mengekspresikan emosinya tanpa takut dihakimi atau disalahkan.
  4. Mendorong anak memproses dan mengekspresikan perasaannya, seperti dengan menggambar, membacakannya cerita, atau pretand play di Mamasewa.
  5. Jika stress language anak menjadi ekstrem, mungkin ini saatnya Mama meminta bantuan konselor untuk mengatasinya.

Mam, itulah penjelasan mengenai stress language anak. Dengan memahaminya, semoga Mama bisa menanggapi kebutuhan emosional anak, membangun coping mechanism, serta mengenalkan cara-cara yang lebih sehat untuk mengelola stres, ya!

Tinggalkan Balasan