Istilah stay-at-home mom mungkin sudah akrab di telinga, tapi bagaimana dengan fenomena stay-at-home dad? Pew Research Center mengungkapkan bahwa pada tahun 2021 jumlah stay-at-home dad di AS meningkat hampir 10% sejak tahun 1989. Salah satu faktor utamanya karena semakin banyak wanita yang berpenghasilan lebih tinggi daripada suaminya. 

Di Indonesia, data spesifik mengenai jumlah stay-at-home dad memang belum tersedia, tetapi fenomena ini mulai menarik perhatian. Apalagi, peran ayah sebagai pengasuh utama masih sering dipandang sebelah mata dan dianggap tabu dalam budaya kita. Lantas, apakah ini sekadar tren atau bakal menjadi awal perubahan sosial yang lebih masif?

Apa Itu Stay-at-Home Dad?

Fenomena Stay-at-Home Dad

Secara sederhana, stay-at-home dad (SAHD) adalah ayah yang memilih untuk fokus mengurus anak dan rumah tangga, sementara istrinya bekerja di luar rumah. Berbeda dengan peran ayah tradisional yang biasanya menjadi pencari nafkah utama, SAHD mengambil peran yang selama ini lebih banyak dijalani oleh para ibu.

Kalau mengutip definisi Australian Institute of Family Studies, SAHD adalah para ayah yang memiliki anak berusia di bawah 15 tahun, tidak memiliki pekerjaan tetap, dan pasangannya bekerja.

Namun, sebagian juga beranggapan bahwa ayah yang hanya bekerja beberapa jam dalam seminggu atau bekerja dari rumah (WFH) juga termasuk SAHD.

Intinya, fenomena ini mencerminkan perubahan dalam dinamika keluarga modern, di mana pembagian tugas berdasarkan gender menjadi lebih fleksibel dan disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi masing-masing keluarga.

Baca Juga: Tantangan Menjadi Working Mom dan Cara Cerdas Menghadapinya

Alasan Ayah Memilih Menjadi Stay-at-Home Dad

Fenomena Stay-at-Home Dad

Meningkatnya jumlah stay-at-home dad bukan terjadi tanpa alasan. Ada berbagai faktor yang mendorong seorang ayah memilih peran ini. Berikut beberapa di antaranya.

1. Dinamika Ekonomi Keluarga

Salah satu alasan utama adalah faktor ekonomi. Ketika istri memiliki penghasilan lebih tinggi atau memiliki karier yang lebih stabil, pasangan mungkin memutuskan bahwa ayah lebih baik mengambil peran sebagai pengasuh utama.

2. Fleksibilitas Pekerjaan

Perkembangan teknologi memungkinkan lebih banyak pekerjaan dilakukan dari rumah. Ayah yang bekerja freelance atau remote memiliki privilege untuk stay-at-home sembari bekerja dan mengasuh anak..

3. Biaya Pengasuhan Anak yang Tinggi

Di beberapa negara, biaya daycare atau jasa baby sitting bisa sangat mahal. Ini membuat sebagian keluarga berpikir bahwa akan lebih hemat jika salah satu orang tua bisa tinggal di rumah untuk mengurus anak.

4. Pilihan Pribadi dan Nilai Keluarga

Beberapa ayah memang memiliki keinginan untuk lebih terlibat dalam pengasuhan anak. Mereka melihat peran ini sebagai bagian dari nilai keluarga yang mereka anut dan percaya bahwa kehadiran ayah di rumah memiliki dampak positif bagi anak.

5. Perubahan Sosial dan Budaya

Seiring waktu, peran gender dalam keluarga semakin fleksibel. Jika dulu ayah diharapkan menjadi pencari nafkah utama, kini banyak keluarga yang tidak lagi terpaku pada norma tersebut dan lebih mengutamakan apa yang terbaik bagi keseimbangan keluarga.

Baca Juga: Istri Ngomel karena Suami Sibuk? Ini Cara Cerdas Menghadapinya!

Tantangan Menjadi Stay-at-Home Dad

Fenomena Stay-at-Home Dad

Peran ayah untuk tinggal di rumah mengurus anak dan keluarga sering kali dihadapkan pada berbagai tantangan. Berikut beberapa tantangan yang sering dihadapi oleh para SAHD.

1. Stigma Sosial dan Tekanan Budaya

Dalam banyak budaya, peran ayah masih dikaitkan dengan pencari nafkah utama. Ayah yang memilih untuk tinggal di rumah sering kali dianggap “kurang produktif” atau “pengangguran” — meskipun peran mereka dalam mengasuh anak juga sangat penting.

2. Kurangnya Dukungan Sosial

SAHD mungkin merasa terisolasi karena komunitas pengasuhan umumnya didominasi oleh ibu-ibu. Mereka mungkin kesulitan menemukan support system yang memahami pengalaman dan keputusan mereka.

3. Ekspektasi Gender yang Kaku

Banyak yang masih beranggapan bahwa ayah tidak sebaik ibu dalam mengurus anak, mulai dari mengganti popok hingga menyiapkan makanan. Ekspektasi ini bisa membuat SAHD merasa kurang percaya diri atau tidak dihargai..

4. Tantangan Finansial

Keputusan menjadi SAHD sering kali berdampak pada kondisi ekonomi keluarga, terutama jika sebelumnya sang ayah adalah pencari nafkah utama. Hal ini bisa menjadi tekanan tersendiri sebagai SAHD.

5. Dinamika Hubungan dengan Pasangan

Perubahan peran dalam rumah tangga juga bisa memengaruhi hubungan suami istri. Beberapa pasangan mungkin perlu waktu untuk beradaptasi dengan pembagian peran yang berbeda dari norma tradisional. Namun, komunikasi yang baik bisa menyelamatkannya.

Baca Juga: Bahaya Stonewalling: Pentingnya Menavigasi Percakapan Sulit

Manfaat Stay-at-Home Dad untuk Anak dan Keluarga

Meskipun menghadapi berbagai tantangan, peran stay-at-home dad sebenarnya juga membawa manfaat bagi anak dan keluarga. Berikut beberapa di antaranya.

1. Kedekatan Emosional yang Lebih Kuat dengan Anak

Kehadiran ayah dalam keseharian anak membantu membangun ikatan emosional yang lebih dalam. Anak yang tumbuh dengan ayah yang aktif terlibat dalam pengasuhan cenderung mengembangkan kepercayaan diri yang lebih tinggi.

2. Model Peran yang Beragam untuk Anak

SAHD mengajarkan anak bahwa peran dalam keluarga tidak harus selalu mengikuti norma tradisional. Anak akan belajar bahwa baik ayah maupun ibu bisa menjadi pengasuh utama sehingga mereka lebih terbuka terhadap konsep kesedaran gender.

3. Pembagian Peran yang Lebih Seimbang dalam Keluarga

Kehadiran SAHD memungkinkan adanya keseimbangan dalam tugas rumah tangga dan pengasuhan anak. Hal ini membantu mengurangi tekanan pada ibu yang bekerja sehingga hubungan dalam keluarga menjadi lebih harmonis.

4. Meningkatkan Keterampilan Ayah dalam Pengasuhan

Dengan lebih banyak waktu bersama anak, SAHD menjadi lebih terampil dalam mengasuh, mendidik, dan memahami kebutuhan anak. Ini juga membantu mengubah stereotip bahwa pengasuhan anak hanya bisa dilakukan oleh ibu. Padahal peran ayah juga sama pentingnya.

5. Dampak Positif terhadap Perkembangan Anak

Studi menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh dengan ayah yang aktif dalam pengasuhan cenderung memiliki keterampilan sosial yang lebih baik, lebih mudah beradaptasi, dan memiliki performa akademik yang lebih baik di sekolah.

Baca Juga: Tips Parenting Song Triplets, Jadikan Keluarga sebagai Prioritas

Tips Menjadi Stay-at-Home Dad

Sebenarnya, menjadi stay-at-home dad (SAHD) tidak jauh berbeda dengan stay-at-home mom (SAHM). Tantangannya mirip—mulai dari mengurus anak, pekerjaan rumah, hingga menjaga keseimbangan diri.

Intinya, peran ini bukan tentang siapa yang bekerja atau siapa yang di rumah, tapi bagaimana pasangan bisa bekerja sama menjalankan keluarga dengan harmonis. Beberapa hal berikut ini bisa dilakukan agar peran ini berjalan lancar.

1. Jalin Komunikasi yang Baik dengan Pasangan

Apa pun peran yang dijalani, kunci utamanya adalah kerja sama. Diskusikan ekspektasi, pembagian tugas, serta cara mendukung satu sama lain agar keluarga tetap harmonis dan komunikasi berjalan lancar.

2. Tetap Terhubung dengan Dunia Luar

Meskipun fokus di rumah, bukan berarti ayah harus kehilangan koneksi dengan dunia luar. Ikuti berita, baca buku, atau ikuti diskusi online agar wawasan tetap terupdate. Selain itu, tetap menjaga hubungan dengan teman-teman, termasuk mereka yang mungkin juga memilih menjadi stay-at-home dad, bisa membantu berbagi pengalaman dan dukungan.

3. Kelola Ekspektasi dan Nikmati Prosesnya

Tidak ada orang tua yang sempurna. Terkadang rumah berantakan, anak rewel, atau jadwal tidak berjalan sesuai rencana—dan itu semua normal. Fokuslah pada kebersamaan dan momen berharga dengan anak.

4. Berikan Ruang untuk Diri Sendiri

Mengasuh anak adalah tugas yang menuntut energi dan kesabaran. Pastikan tetap ada waktu untuk beristirahat, melakukan hobi, atau sekadar menikmati momen tenang agar tetap waras.

5. Jangan Terpaku pada Stereotip

Masih banyak yang menganggap pengasuhan adalah tugas ibu, sementara ayah “membantu” di sela waktu luangnya. Jika Papa adalah stay-at-home dad, Papa bukan sekadar “membantu”—Anda adalah orang tua yang menjalankan peran penuh. Maka, tetap fokus pada tujuan awal dan lakukan yang terbaik untuk keluarga Anda.

Baca Juga: 7 Rekomendasi Podcast Parenting, Topiknya Relate Banget!

Pada akhirnya, menjadi stay-at-home dad atau stay-at-home mom bukanlah tentang gender, tapi tentang bagaimana keluarga bisa bekerja sama dan saling mendukung. Jika Papa kehabisan ide untuk mengisi aktivitas anak, Papa bisa menemukan berbagai mainan di Mamasewa yang bisa dimainkan bersama. Yuk, cek koleksinya di www.mamasewa.com

Tinggalkan Balasan